Meretas Identitas Politik Islam

PENDAHULUAN

Islam merupakan agama yang mengusung jargon “rahmatan lil-‘alamin”.[1] Jargon berat tersebut selalu dicoba direpresentasikan dalam praktek kehidupan oleh masing umat muslim dengan pola yang beragam. Rasionalisasi-pun sangat dibutuhkan saat Islam mencapai tahap menyebaran. Sebab, islam dengan jargonnya dituntut untuk masuk ke pelbagai aspek. Hal tersebut dilakukan agar kehadiran Islam lebih bisa diterima oleh semua kalangan dan dapat dipertanggung jawabkan secara rasional.

Pada ranah praktis, seringkali manusia, umat muslim khususnya, tidak dapat menangkap pesan rahmatan lil-‘alamin tersebut ketika nilai-nilai dalam Islam yang bersumber dari wahyu mencoba dimanifestasikan dalam praktek kehidupan (habitual actions) yang berakibat pada pemaksaan tafsir dari masing-masing kepala. Ironisnya, tafsir tersebut seringkali diklaim sebagai kebenaran utuh dan tunggal, dengan menafikan tafsir-tafsir lain. Padahal tidak ada kebenaran yang utuh dan tunggal. Kebenaran selalu berjalin-kelindan antara satu dengan yag lain, bagai benang yang mencoba dirajut menjadi kain.

Fenomena yang paling menarik untuk selalu diamati adalah ketika Islam dibenturkan dengan aspek politik. Pelbagai terori pun bermunculan dari masing-masing pakar. Diantara teori tersebut adalah Domestikasi Islam, Skismatik Aliran, trikotomi Islam, kultural islam, dan dekonfessionalisasi islam. Dari kelima pendekatan teoritis tersebut hanya satu yang jelas mengasumsikan adanya keterpisahan antara islam dan politik.[2]

Sementara, sejarah membuktikan kiprah umat islam sangatlah signifikan dalam mengkawal kemerdekaan bangsa dengan gerakan jihad melawan kolonial belanda yang kemudian dilanjutkan melawan jepang. Fenomena politik tersebut kemudian berlanjut kepada proses pembentukan identitas bangsa. Gerakan tersebut, bagi penulis, tiada lain karena nilai-nilai yang ada dalam Islam yang ditransformasikan ke dalam spirit nasionalisme sesuai dengan hadits Nabi yang menyatakan bahwa cinta tanah air adalah sebagian dari Iman.

Namun demiikian, dalam perkembangannya, pasca orba atau pada era reformasi hingga kini, identitas pilitik islam semakin tidak jelas orientasi. Yang timbul justru politik “atas nama Islam” mewarnai hiruk-pikuk percaturan politik nasional yang memang juga semraut. Problem inilah yang ingin penulis kaji dalam makalah ini dengan mencoba menawarkan pendekatan teoritis yang masih bersifat imajinatif disebabkan, menurut penulis, kesadaran indivual umat islam di Indonesia khusunya masih sangat perlu untuk diaktualisasikan.

PEMBAHASAN

A. Corak Gerakan Politik Islam di Indonesia

Hubungan antara islam dan politik di Indonesia memiliki sejarah yang sangat panjang. Namun, perkembangan tersebut tidak disertai dengan perkembangan teoritis. Upaya teoritis baru berkembang beberapa decade belakangan ini. Upaya teoritis di Indonesia lebih didasarkan kepada kisah-kisah politik  islam secara formal. Dalam makalah ini, penulis akan mencoba mendasarkan pada salah satu pendekatan teoritis yang dikembangkan oleh CAO Van Nieuwenhuijze pada pertengahan 1960.[3]

Konsep yang ditawarkan dalam dekonfessionaliasasi ini lebih kepada pola memperluas penerimaan umum, mencakup semua kelompok yang berkepentingan dengan pertimbangan asaz kemanusiaan dan kemashlahatan bersama. Kalau dikaji lebih jauh konsep ini menawarkan penjelasan konstruktif mengenai politik antagonis antara islam dan Negara. Hal tersebut tampak dalam penerimaan tokoh muslim dahulu terhadap pancasila yang memang bukan atas dasar islam an-sich. Realitas tersebut bukan berarti isyarat dari kekalahan politik islam. Melainkan proses awal dari gerakan politik islam yang lebih menyentuh pada nilai-nilai substansi islam.

Dalam pancasila terkandung perspektif religiusitas nilai islam seperti keesaan Tuhan, keadilan, kemausiaan, dsb. Dengan demikian, adanya pancasila, yang sepertinya plural, diharapkakn berfungsi sebagai kontrol politik sosial untuk mengekspresikan kaitan dengan kepentingan kelompak islam terhadap kelompok lain. Pada tahap selanjutnya, politisasi islam mulai masuk pada konstitusi Negara dengan dibentuknya kementrian urusan agama untuk mengakomudir perlindungan atas kebebasan beragama. Akan tetapi pada prakteknya hanya mengakomudir urusan agama islam.

Dengan sedikit eksplorasi di atas sebenarnya, menurut penulis, ingin mengungkapkan bahwa politik islam Indonesia mencoba menampilkan diri dalam bentuk yang obyektif dan tidak skriptualistik dengan memcoba menerima semua yang ada dalam kultur Indonesia dengan tanpa meniadakan eksistensi kepentingan atas nama islam itu sendiri. Namun demikian, pola politik islam atau islam politis di era post-modern ini, bagi penulis, sepertinya tengah berusaha untuk mengidentifikasi eksisitensinya dalam politik nasional sehngga tak dapat dihindari format politik pun harus ditranformasi dari legalistik-formalistik menuju substantif.

B. Timbulnya Manuver Politik “Atas Nama Islam”

Ditandai dengan berkahirnya orde baru, dari era reformasi hingga after post-reformation ini, banyak sekali tumbuh ideologi islam yang diusung oleh sebuah institusi ataupun partai politik. Pelbagai macam institusi sosial politik islam menggunakan ideologi islam untuk mengambil simpati masyarakat Indonesia yang nota bene mayoritas beragama Islam. Dari yang mengatasnamakan penegakan syari’at islam, sampai idealitas nilai-nilai islam.

Ironisnya, pelbagai institusi tersebut hanya berjuang untuk kepentingan kolompok masing-masing dan kurang mengindahkan kemashlahatan umat secara umum. Terbukti, ketika semisal salah satu partai politik yang ada “embel-embel islam” duduk diparlemen, yang ada hanyalah tingkat korupsi yang semakin marak. Sementara nilai-nilai yang ada dalam islam, untuk  lebih mendahulukan kepentingan umat secara umum dari pada kepentingan individu menjadi terabaikan.[4]

Hal tersebut berakibat pada terkikisnya kepercayaan masyarakat kepada institusi yang mengatasnamakan Islam. Bisa dilihat pada hasil pemilu legislatif 2009 kemarin, partai yang mengusung nama islam justru terpuruk dan lebih didominasi partai-partai nasionalis. Bagi penulis, fakta tersebut merupakan dilema bagi umat islam sejauhmana dapat dijadikan bahan refleksi untuk memperjelas orientasi politik islam yang lebih bisa diterima oleh semua orang.

Fenomena yang terjadi selama ini hanyalah menjadi noda bagi identitas umat islam dan islam itu sendiri. Sebab, umat islam yang diharapkan untuk selalu bersikap pluralis, humanis, dan menjadi orang yang selalu bersih, justru tercoreng dengan adanya kepentingan kekuasaan. Percaturan politik di Indonesia memperjelas fakta tersebut. Fakta mengatakan bahwa umat islam tidak bisa bersatu dan terbukti partai yang paling banyak mewarnai perpolitikan Indonesia tiada lain adalah partai islam.

Dengan demikian, proses penyadaran diri dari masing-masing individu sangat perlu untuk dilakukan. Selama ini umat islam sebenarnya sadar dengan apa yang terjadi akan teapi, tidak mampu menyadari dan membiarkan semuanya terjadi sampai berlarut-larut. Konsep kesadaran diri disini sangatlah penting dilakukan untuk mengembalikan citra umat islam yang sudah ternodai. Sebenarnya, problem seperti ini sudah terjadi sejak dahulu kala sampai-sampai Ibnu Qoyyim al-Jauzi mengatakan bahwa Islam adalah sesuatu dan muslim adalah sesuatu yang lain dan keindahan nilai-nilai islam seringkali terhijabi oleh perbuatan-perbuuatan muslim itu sendiri.[5]

C. Menghadirkan Politik Islam obyektif-substantif: Sebuah Solusi

Melihat fenomena politik islam yang “semraut,”  Bahtiar effendi mengemukakan salah satu cara paling tepat untuk menghadirkan politik islam dewasa ini, yakni dengan penampilannya  yang lebih obyektif dan substantif. Yakni dengan upaya melepaskan praktek politik yang hanya mengusung symbol atau segala macam formalitas islam yang justru mengabaikan substansi dari nilai-nilai ajaran islam. Dengan perubahan mekanisme berpolitik ini diharapkan dapat memulihkan kembali citra umat islam yang sudah tak karuan. Itulah jenis politik islam yang mungkin dapat mentransendenkan diri dari kepentingan-kepentingan formalistik, legalistik, dan ekslusif, dengan lebih berusaha mencapai kepentingan-kepentinagn yang substantif, integratif, dan inklusif.[6]

Disamping juga perlunya merevitalisasi factor relijiusitas islam sebagai maghnet pemersatu dalam percaturan politik islam. Menurut Qadhafi, tradisi dan praktek Islam harus digunakan untuk memkuat ikatan sosial dan politik diantara muslim[7] dan tentunya kesadaran diri akan ditegakkannya nilai-nilai yang ada dalam islam disini tidak bisa dinafikan. Jika, semua itu tidak dilakukan, Islam tidak akan memiliki arti apa-apa bagi pemeluknya.

Pada era saat ini sudah saatnya umat islam menghindari penggunaan simbol-simbol agama sebagai perisai pencitraan dirinya agar ruang lingkupnya dalam mewarnai perpolitikan nasional dapat benar-benar diterima oleh masyarakat Indonesia. Tidak perlulah kiranya menggunakan jargon “penegakan Negara islam”. Sebab, kerapkali menjadi pertentangan ideologis-politis di antara umat islam di Indonesia, sehingga muncul pelbagai friksi yang mengancampersatuan dan kesatuan umat islam.[8]

Oleh sebab itu, persoalan ini perlu mendapatkan perhatian dan apresiasi dari seluruh umat islam di Indonesia, terutama para elit politik islam, agar keragaman dalam pemikiran dan ideologi di antara umat Islam dapat menjadi rahmat.[9] Demikian pula diharapkan citra islam kembali bersinar dan mendapat tempat di hati pemeluknya dan non-islam bila perlu yang tiada lain dengan jalan menyelamatkan apa yang perlu diselamatkan.

PENUTUP

Keberadaan politik islam yang turut mewarnai percaturan politik diindonesia sangat perlu untuk ditransformasi konsep dan format gerakan politiknya. Sebab, eksistensi politik Islam mempunyai arti penting bagi umat Islam sebagai umat mayoritas di Indonesia sehingga perlu mendapat perhatian dan kontrol yang lebih dari umat Islam agar tidak terjebak dalam kepentingan politik-praktis yang dapat mencoreng citra Islam yang substantif.

Dalam hal ini solusi yang penulis tawarkan adalah upaya membersihkan citra Islam dengan menampilkan system politik yang tidak menjadikan symbol atau jargon keislaman, melainkan lebih kepada menampilkan politik Islam yang lebih obyektif dan substantif. Dengan konsep tersebut diharapkan dapat menyelamatkan Islam dari kaum muslim puritan yang mencoba bermain politik “atas nama Tuhan”.

Identitas umat islam harus diselamatkan dari noda-noda yang coreng oleh sebagian umat islam yang lain. Islam dan umat islam mesti menjadi sarana perwujudan rahmat dan kasih sayang Tuhan bagi semua manusia. Sebab rahmatan lil-‘alamin bukanlah sebatas jargon. Melainkan menjadi prinsip yang harus dipegangtegug dan dijalankan sebagai manifestasi dari diaspora nilai-nilai keislaman.

Akhirnya, apoligia prolibro suo, tak ada gading yang tak retak. Sebagai sebuah karya kreatif manusia, tulisan ini masih jauh dari kesempurnaan, masih terbuka pintu pembacaan lain mengenai korelasi Islam dan politik. Dengan demikian, penulis hanya mengharap semoga makalah ini dapat memberikan sumbang-sih pemikiran dalam menghiasi khazanah keilmuan. Amin… Wallahu A’lam

DAFTAR PUSTAKA

  1. A. Referensi Utama

Hanafi Hasan, dkk.. Islam dan Humanisme. Yogyakarta: Pustaka Pejajar, 2007

Roy  Olivier, alih bahasa Harimurti & Qomaruddin. Gagalnya Islam Politik. Jakarta: Serambi, 1992

Anam Khairul. Legitimasi Politik Tuhan. Yogyakarta: Cipta Kumala Pustaka, 2007

Effendy  Bahtiar. Islam dan Negara. Jakarta: Paramadina, 1999

Ayoub Mahmoud, alih bahsa Wahdad & Abdullah Haq. Islam dan Teori Dunia Ketiga: Pemikiran Keagamaan Mu’ammar Qadhdhafi. Bogor: Humaniora Press, 2004

Abou El Fadl, Khaled. alih bahasa Helmi Mustofa. Selamatkan Islam dari Muslim Puritan. Jakarta: Serambi, 2006

http://serbasejarah.wordpress.com/2009/04/04.

B. Referensi Pendukung

Amstrong Karen. Alih bahasa Satrio,dkk. Berperang Atas Nama Tuhan. Jakarta: Serambi, 2000

Boulares Habib. Alih bahasa Ilham Manshuri. Islam Biang Ketakutan atau Tumpuan Harapan. Bandung: Pustaka Hidayah, 2003

Hossein Nasr, Sayyid. Alih bahasa Koes Adiwijayanto. Islam, sejarah, dan Peradaban. Surabaya: Risalah usti 2003

Husaini Adian. Islam Liberal, Pluralisme Agama, dan Diabolisme Intelektual. Surabaya: Risalah Gusti 2005

Verdiansyah Very. Islam Emansipatoris. Jakarta: P3M 2004


[1] Terlepas dari pemahaman yang menyatakan bahwa Islam adalah ajaran hidup yang berisi etika, kemanusiaan, dan ilmu social atau ideology. Deskrispsi ini didasarkan pada pemahaman bahwa istilah agama sangat tidak pas ketika dilabelkan kepada Islam. Sebab, islam lebih mencakup segala aspek. Sementara agama lebih terpatok kepada ritual religious an-sich. Lebih lengkapnya, lacak Hasan Hanafi, dkk., Islam dan Humanisme, (Yogyakarta: Pustaka Pejajar, 2007 ) hal. 1. Namun demikian, disini penulis lebih memilih penggunaan tentang Islam secara garis besar dan pemahaman mayoritas tapi tanpa menafikan pemahaman minoritas, yakni sebagai Agama.

[2] Ekslorasi lebih lengkap tantang teori pilitik islam dapat di lacak tulisan Bahtiar Efendi, “Disartikluasi Pemikiran Politik Islam?” dalam Olivier Roy, alih bahasa Harimurti & Qomaruddin, Gagalnya Islam Politik,(Jakarta: Serambi, 1992) hal.IX

[3] Penulis merasa tidak perlu untuk menjelaskan secara detail tentang hal-hal yang berkaitan dengan dekonfessionalisasi disebabkan keterbatasan ruang dan waktu. Penulis hanya akan mencoba memberikan keterkaitan dengan kondisi politik islam di indosenia. Lebih lengkapnya baca Kopral Cepot “memahami fenomena politik islam di indonesia” dalam http://serbasejarah.wordpress.com/2009/04/04.

[4] Asumsi ini searah dengan apa yang di kemukan Anam dalam Khairul Anam, Legitimasi Politik Tuhan, (Yogyakarta: Cipta Kumala Pustaka, 2007) hal. viii

[5] Mohon maaf karena penulis tidak bisa menghadirkan referesni yang jelas dari ungkapan Ibnu Qoyyim tersebut. Ungkapan tersebut penulis ambil dari paparan salah seorang Dosen (Drs. K. Malik Madany) ketika menyampaikan kuliah Tafsir Ahkam.

[6] Bahtiar Effendy, Islam dan Negara, (Jakarta: Paramadina, 1999)

[7] Keterangan lebih detail tentang Qadhafi dan Pola politik yang ia tawarkan, silahkan baca, Mahmoud Ayoub, alih bahsa Wahdad & Abdullah Haq, Islam dan Teori Dunia Ketiga: Pemikiran Keagamaan Mu’ammar Qadhdhafi, (Bogor: Humaniora Press, 2004) hal. 149

[8] Khoirul Anam, Legitimasi, hal. 146.

[9] Asumsi ini terinspirasi dengan sebuah buku Selamatkan Islam dari Muslim Puritan, karangan Khaled Abou el Fadl yang didalamnya seolah mengisyarat bahwa umat islam tidak boleh terjebak kepada symbol dan otoritarianisme pemikiran apalagi politik. Sebab, baginya, Islam dan umat islam mesti menjadi sarana perwujudan rahmat dan kasih sayang Tuhan bagi semua manusia. Kasih sayang dan moderasi yang menjadi nilai dasar  islam harus  diingat dan dibiakkan dalam hati umat Islam. Agar ekstrimisme tak punya tempat. Agar kebersamaan semua manusia dalam menegakkan nilai-nilai kebertuhanan sungguh-sungguh mendulang kemajuan. Silahkah baca Khaled Abou El Fadl, alih bahasa Helmi Mustofa, Selamatkan Islam dari Muslim Puritan, (Jakarta: Serambi, 2006)20093

By Fawaidurrahman Dikirimkan di Akademik